Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Ada Siswa Bodoh dalam Matematika?

Mengapa Ada Siswa Bodoh dalam Matematika?

 Rachmat Hidayat
Grand mentor di Ngajimatematika. Seorang guru matematika yang sekarang diamanahi menjadi kepala sekolah di SMP AL FURQAN MQ TEBUIRENG.


Sebenarnya pertanyaan ini bermasalah. Pendidik modern pasti akan menghindari menggunakan kata bodoh. Pertanyaan yang lebih pas adalah "mengapa ada siswa yang sulit belajar matematika?". Pertanyan ini cenderung lebih masuk akal untuk dijawab.

Saya akan coba menjawabnya dengan sedikit ilmu pedagogik yang saya ketahui dan pengalaman saya yang juga belum lama.

Secara teori, "sulit" sebenarnya bukan hal yang mesti terlalu ditakutkan. Malah sebenarnya adalah fase yang wajar dilalui saat kita belajar. Sulit adalah kondisi dimana kita membutuhkan usaha lebih untuk mencapai tujuan tertentu. Titik tekannya adalah pada kata "usaha lebih". Jadi sulit bukan kondisi yang mustahil. Hanya butuh usaha lebih banyak. Beberapa dari kita pasti pernah mengalami kesulitan dalam membaca yang pada akhirnya kita lalui.

Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/

Ada banyak sekali penyebab kesulitan dalam matematika. Salah satu yang utama barang kali disebabkan oleh ketidaksiapan siswa belajar matematika. Ada salah satu hukum Thorndike yang terkenal mengenai ini. Yaitu law of readiness. Itu semacam keadaan dimana siswa siap dan diijinkan untuk belajar. Readiness sebenarnya juga ditinjau dari beberapa hal seperti kesiapan mental dan pengetahuan prasyarat. Saya akan fokuskan pada yang kedua.

Nah dalam hal readiness ini lah banyak guru yang tidak tahu. Akhirnya pengajaran terpaksa dimulai. Misalnya siswa belum paham betul perkalian lalu diajarkan perpangkatan. Dalam kondisi ini siswa akan kelabakan. Mereka akan sulit menerima konsep perpangkatan dan beberapa sifat turunannya. Inilah awal kesulitan muncul.

Sayangnya respon guru terhadap kesulitan ini justru semakin memperparah keaadaan. Ada yang menunjukkan ekspresi kecewa, bahkan sampai marah, membentak, atau mengolok. Di sinilah akhirnya muncul mental blok. Mereka yang kesulitan berakhir dengan mindset tetap bahwa mereka tidak bisa belajar matematika. Bahwa matematika bukan bidang mereka. Ketika mindset tetap ini semakin kuat, maka kegagalan demi kegagalan mereka alami. Inilah kondisi dimana kita biasanya memberi stigma "tidak bisa/berbakat matematika". 

Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/

Padahal kenyataannya sama sekali tidak ada masalah dengan otak mereka. Jangankan yang lahir dengan otak normal. Mereka yang lahir dengan otak berkebutuhan khusus pun dapat dilatih untuk belajar matematika. Otak manusia itu semakin dipakai semakin berkembang. Tidak sebagaimana pameo yang beredar dimana otak semakin pusing ketika semakin sering digunakan berpikir.

Ketika TPND 9 kemarin ada seorang guru bertanya kepada saya bahwa 90% siswa kelas 5 masih tidak lancar perkalian, dia juga menyadari sebagai guru, dia juga percaya bahwa matematika bukan bidang keahliannya. Lantas apa yang harus dilakukan?

Pertama, tidak ada anak yang terlahir dengan satu set otak dengan pengetahuan matematika bawaan. Seorang matematikawan semakin ahli matematika bukan karena otak bawaannya, melainkan karena mindset tumbuhnya. Semakin sering ia belajar matematika, semakin ia percaya bahwa ia bisa menyelesaikan banyak masalah matematika. Saya akan berikan contoh kecilnya.

Saat les mengemudi, di akhir sesi pelatih saya selalu memberikan feedback. Ketika feedbacknya buruk seperti, "mas gimana sih kok gak bisa-bisa", maka kepercayaan diri saya menurun. Saya merasa sepertinya saya memang tidak berbakat dalam mengemudi. Hasilnya, di kesempatan belajar mengemudi hari berikutnya saya seolah melupakan pelajaran hari kemarin dan terseok-seok saat beberapa kali belok. Namun ketika feedback yang saya terima baik, "bagus mas sudah ada perkembangan", saya pulang dengan percaya diri. Dan di kesempatan belajar berikutnya, saya masih ingat betul pelajaran hari kemarin.

Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/

Dari kejadian kecil itu, saya sadar bahwa feedback itu memengaruhi mindset saya. Ketika mindset saya tumbuh saya semakin percaya diri dan belajar lebih baik. Di dalam kelas pun juga tak jauh berbeda. Saya pernah punya seorang siswa SMA yang sama sekali belum memahami aljabar. Orang tuanya hampir menyerah dan menjudge anak ini tidak bisa matematika. Guru-gurunya juga sudah menyerah.

Yang saya lakukan pertama kali adalah membalik mindsetnya. Benar ini tidak mudah. Butuh waktu lama. Sebab saya harus menjebol mental blok yang ada pada mindset tetapnya bahwa ia tidak bisa matematika. Mindset yang sudah disemai oleh dia sendiri, temannya, orang tua bahkan guru di sekolah. Bagaimana mengubah mindset itu?

Saya mulai dari mengetahui ZPD (zona Proximal Development) nya. Zona dimana dia bisa bermatematika tanpa bantuan. Dan saya ketahui bahwa dia hanya menguasai operasi hitung dasar bilangan. Itu adalah titik start saya. Setiap dia berhasil menjawab soal atau mempelajari hal baru, saya katakan bahwa usahanya luar biasa. Saya tidak memuji dia pintar, saya memuji usaha yang dia lakukan sekecil apapun itu.

Selang beberapa lama mindsetnya berubah dari mindset tetap menjadi mindset tumbuh. Dia lebih percaya diri saat menemui soal-soal sulit sekalipun. Pada akhirnya dia lulus dengan nilai hampir sempurna. Ingat ya ini bukan cerita Cinderella yang berubah cantik dalam satu malam. Jika, bisa lebih baik mencegah terjadinya kesulitan yang mungkin dapat membuat siswa terjebak pada mindset tetapnya.

Lalu bagaimana mencegah terjadinya kesulitan berlebihan? Tentu dengan cara memastikan bahwa setiap siswa siap belajar. Kesiapan siswa adalah pintu masuk pertama yang harus dicek. Dengan apa? Tentu dengan asesmen diagnostik awal. Dari diagnosis awal itu kesiapan siswa dapat dipetakan baik kognitif maupun non kognitifnya.

Lalu bagaimana jika masih ada beberapa yang mengalami kesulitan? Anggap saja itu wajar. Lalu coba temukan dimana ZPD siswa. Beri bantuan (scaffolding) sesuai dengan ZPDnya. Perlahan kurangi bantuan itu sampai siswa bisa menyelesaikan sendiri tugas yg diberikan. Jangan lupa berikan pujian atas usaha yang dia lakukan. Agar mindset tumbuhnya terus berkembang. Biasakan tidak menilai personalnya seperti pujian anak pintar, atau olokan anak bodoh.

Lalu bagaimana jika kesiapan siswa berbeda dalam satu kelas? Nah pakai strategi pembelajaran berdeferensiasi. Apa itu? Caranya gimana?

Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/

Posting Komentar untuk "Mengapa Ada Siswa Bodoh dalam Matematika?"