Santri Muhammadiyah di Pesantren Darul Ulum Jombang
KORAN EDUKASI - Ini cerita yang disampaikan KH Zaimuddin Wijaya As’ad. Kiai yang dalam keseharian lebih akrab disapa Gus Zu’em ini memiliki perhatian lebih kepada santrinya di Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang.
Pada masa perkenalan santriwati, mereka yang punya hafalan Al-Qur’an ditanya satu persatu nama pesantren tempatnya menghafal dahulu. Akan tetapi tidak seperti biasa, dirinya mendapati santri tahfidz yang belum pernah ke pesantren manapun.
“Saya tidak pernah masuk pesantren, tapi saya sekolah di SMP Muhammadiyah, jadi saya Muhammadiyah, pak,” ungkap sang santri dengan nada seolah berharap dimaklumi.
Santri yang berasal dari Kalimantan itu seperti merasa insecure karena berada di antara teman-temannya yang mayoritas Nahdhiyin.
Maka, Gus Zu’em pun langsung merespons:
“O.. tidak masalah, apakah kalian dari Al-Wasliyah, Persis, Muhammadiyah atau Nahdhatul Wathan, silakan saja nyantri di Darul Ulum. Toh, Al-Qur’an dan syahadat kita sama,” katanya sembari tersenyum.
Untuk meyakinkan dia dan santri lain yang sekolah sebelumnya di lembaga pendidikan non-NU (Ma’arif), dirinya pun bercerita bahwa alumni Darul Ulum tersebar di berbagai ormas Islam. Buktinya, pada tahun 1990 yang menjadi Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur adalah alumni Darul Ulum, yakni KH Abdurrahim Nur.
Bahkan jauh sebelum itu, pada tahun 1967 yang jadi Pengurus Daerah Muhammadiyah Jombang adalah KH Sidik Abbas yang juga alumni Darul Ulum dan kala itu sang ayah yakni allahumma yarham, KH As’ad Umar sebagai tercatat di Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang.
“Apa maknanya?” kata pimpinan di Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Peterongan, Jombang ini. Bahwa bagi pendahulu Pesantren Darul Ulum, organisasi itu bukan hal yang prinsip, melainkan sebagai pilihan wadah perjuangan atau ibarat jaket.
“Anda boleh pilih wadah apapun dan warna jaket apapun, yang penting dalemannya tetap lailaha illallah,” terangnya.
Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/
Mengapa demikian? Karena ke-NU-an Darul Ulum lebih pada nilai-nilai afektifnya, penghayatan dan akhlaknya, bukan pada formalitas simbolis. Persis seperti KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam mengidealkan republik ini yang lebih memperjuangkan implementasi nilai-nilai keislaman dalam berbangsa dan bernegara daripada secara formal memperjuangkan negara berdasar Islam seperti yang diidealkan Amien Rais.
“Maka dari itu, Anda tidak akan menemukan mata pelajaran ke-NU-an di unit-unit pendidikan Darul Ulum, sehingga para kiai tidak mendaftarkan santri kelas akhir untuk mengikuti UAMNU atau Ujian Akhir Ma’arif Nahdlatul Ulama,” jelasnya.
Bahkan kalau mencermati dengan seksama warna cat gedung-gedung sekolah di Pesantren Darul Ulum, yang berwarna hijau yakni identik warna NU hanya madrasah negeri. Sementara sembilan unit lainnya beragam warnanya dan mayoritas biru.
Sampai-sampai ada tamu yang sensitif warna bertanya: “Gus, warna gedung-gedungnya kok seperti warna milik lembaga saudara kita ya?,” katanya.
“He he he, ya warna-warni. Dulu ketika Kiai As’ad malah dikira condong ke PDI, karena semua gedung berwarna merah muda atau humaira, padahal beliau menginterpretasikan warna itu sebagai warna pipi Siti Aisyah, sehingga Rasulullah bila memanggilnya tidak menyebut nama, tapi dengan panggilan kesayangan: ya humaira, wahai yang (pipinya) merah muda. Nah, dengan warna humaira itu, Kiai As’ad berharap semoga santri Darul Ulum disayangi Rasulullah,” terangnya agak panjang.
Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/
Kembali ke santriwati yang mengaku Muhammadiyah tadi. Gus Zu’em sampaikan kepadanya bahwa kelaziman praktik ibadah NU dan Muhammadiyah itu bisa saling bertukar, karena yang beda hanya aksesorisnya.
“Seperti kalau kalian memakai jilbab. Silakan mau pilih model yang mana apakah jilbab pasmina, instan, bergo, sport atau yang lainya. Yang penting kita sepakat bahwa perempuan wajib menutup aurat. Adapun soal model, boleh sesuai selera dan kebutuhan masing-masing,” tegas alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Lebih lanjut, untuk menambah wawasan sang santri, Gus Zu’em pun berkisah tentang persahabatan dua ulama besar Indonesia yakni Buya Hamka selaku tokoh Muhammadiyah dan Kiai Idham Chalid yang tokoh NU.
Ketika dalam perjalanan haji menuju Mekah menggunakan kapal laut yang berlangsung beberapa minggu, bila shalat shubuh, mereka bergantian menjadi imam. Kiai Idham Chalid memilih untuk tidak doa qunut karena jamaah di belakangnya ada Buya Hamka. Sebaliknya, ketika jadwal Buya Hamka yang menjadi imam, malah berqunut karena di belakangnya ada Kiai Idham Chalid. Para jamaah pun merasa tersejukkan dengan keberadaan beliau berdua.
“Begitu indahnya pergaulan dan perilaku orang-orang yang berilmu tinggi. Selalu mendamaikan hati dan penuh kasih sayang, tidak sebaliknya. Salam sehat penuh rahmat,” tutupnya di akun Facebook.
Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/
Posting Komentar untuk "Santri Muhammadiyah di Pesantren Darul Ulum Jombang"