Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

UIN Sunan Kalijaga Menjadi Tuan Rumah Penyelenggaraan Seminar Nasional Fiqih Peradaban

UIN Sunan Kalijaga menjadi tuan rumah penyelenggaraan Seminar Nasional dengan judul "Menafsirkan Kembali Gagasan Fiqih Peradaban dalam Perspektif Geopolitik Islam" pada hari Selasa, 4/4/2023. Bertempat di Gedung Prof. RHA Soenarjo SH kampus UIN Sunan Kalijaga, seminar ini merupakan agenda series Nahdlatul Ulama (NU) yang bertujuan untuk menafsirkan kembali gagasan Fiqih Peradaban dalam perspektif geopolitik Islam dan menjelaskan bagaimana konsep tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari umat beragama untuk menjaga tatanan global yang damai, toleran, dan humanis. Acara ini diikuti oleh jajaran pimpinan universitas, tamu undangan, Dekanat, Mahasiswa dan masyarakat umum.

Selain menghadirkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Dr. (HC) Yahya Cholil Staquf sebagai keynote speaker, ada empat narasumber yang membahas topik terkait dalam acara ini, yaitu Prof. Dr. H. Siswanto Masruri (Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga), Prof. Dr. M. Mohtar Mas'oed (Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada), Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D, (Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta), dan Dr. ST. Sunardi, (Dosen Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Pasca Sarjana Universitas Sanata Dharma) dan dimoderatori oleh Prof. Dr. Fatimah, M.A., Guru Besar Ilmu Filsafat Agama UIN Sunan Kalijaga.

 

 

Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/

Di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) memperkenalkan gagasan konsep fiqih peradaban atau fiqih hadarah. Konsep ini dipopulerkan ulang pada perayaan 100 tahun NU melalui serangkaian kegiatan dan forum diskusi dengan ratusan ulama dari seluruh dunia. Salah satunya adalah Muktamar Internasional Fiqih Peradaban di Surabaya pada bulan Februari 2023.

Fiqih peradaban merupakan pemahaman terhadap realitas atau peradaban yang didialogkan dengan teks-teks suci untuk memberikan solusi atas permasalahan yang muncul akibat dinamika peradaban itu. Konsep Fiqih Peradaban terus mendapatkan perhatian dan pertanyaan dari berbagai kalangan, seperti bagaimana konsep Fiqih Peradaban dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari umat beragama, peluang dan tantangan implementasi konsep tersebut, serta peran penting yang dapat dan harus dilakukan oleh umat beragama dalam menjaga tatanan global yang damai, toleran, dan humanis.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, K.H., Dr., Yahya Kholil Staquf pada paparannya bertajuk Fiqih peradaban dan tatanan masyarakat global antara lain menyampaikan bahwa, gagasan untuk melahirkan Fiqih Peradaban didasari oleh adanya Piagam PBB tentang cita cita terwujudnya perdamaian dunia (hidup berdampingan secara damai dalam segala perbedaan). Fiqih Peradaban telah banyak didiskusikan. Diantaranya pada Muktamar NU di Surabaya, di UIN Jakarta, dan sekarang ini di kampus UIN Sunan Kalijaga.

Menurutnya sampai saat ini perdamaian dunia yang dicita citakan dalam Piagam PBB yang ditandatangani Kepala Negara seluruh dunia belum terwujud. Fiqih Peradaban yang digagas NU dimaksudkan untuk mendukung cita-cita dari Piagam PBB. NU punya tanggung jawab membumikan Fiqih Peradaban ke lingkaran akademik.

Menurut K.H. Cholil Staquf, gagasan Fiqih Peradaban sebagai upaya untuk mendukung cita-cita dari Piagam PBB, realisasinya masih mendapatkan penentangan di kalangan umat Islam. Hal ini Terlihat masih adanya gerakan radikalisme yang mengatasnamakan Islam, masih adanya perjuangan khilafah (gerakan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia), dulu ada DI-TII yang akan mengganti NKRI, sekarang ada Al Qaeda. “Jadi gerakan itu akan terus mencari kesempatan,” ungkap K.H. Cholil Staquf.

Disampaikan, sudah banyak ulama yang menyampaikan dalil dan hadis nabi untuk welas asih, bekerja sama, saling menyayangi. Tetapi di pihak lain ada seruan agama dengan dalil dalil lain, yang menggelorakan kekerasan atau gerakan radikal melawan yang berbeda. Maka NU perlu mencari dan melahirkan dalil dalil untuk membenarkan ajakan perdamaian dunia dalam Piagam PBB, atau kalau di Indonesia kenapa harus Bersatu dalam perbedaan, atau kenapa harus mempertahankan NKRI. Karena sekarang ini semakin kuat serangan dari kalangan radikalisme.

Maka NU merasa butuh dalil dalil yang kuat dari Syari’at Islam untuk mengakhiri serangan itu.
Sementara, serangan itu tidak hanya di Indonesia. Di berbagai belahan dunia banyak lahir gerakan Islam Wasathiyah, di belahan lain menggugat. Al Azhar menyerukan Islam Wasathiyah, tapi di Mesir menentang seruan damai dengan kelompok lain. Arab misalnya, mengusung perdamaian, tapi ulama Wahabi menentang. Semua itu meneguhkan hati Pengurus Besar NU untuk berikhtiar menyediakan platform untuk menentukan hal hal yang strategis menyikapi perbedaan untuk melahirkan perdamaian sampai tingkat dunia.

Pluralisme, Bhineka Tunggal Ika, NKRI memerlukan dasar Syariat Islam, agar konsep negara bangsa seperti NKRI dapat diterima, utamanya oleh seluruh umat Islam, sehingga dapat memutus konflik yang terus menerus terjadi. Indonesia butuh argumentasi yang tegas yang diambil dari Syari’at Islam, untuk memutus dalil-dalil yang menggelorakan kekerasan, dan bisa meredam gerakan radikalisme. Maka mendesak sekali menemukan landasan dengan prinsip-prinsip Islam yang menjamin perdamaian.

Dari rangkai panjang dan sistematis yang digaungkan NU ini, diharapkan dapat mengkristal. Diperlukan juga dalil dalil Islam Nusantara yang dapat disahkan agar Islam Nusantara dapat diterima sebagai Islam yang autentik juga. NU juga perlu melahirkan dalil-dalil menyambut lahirnya tata dunia baru yang dapat memayungi kesetaraan martabat manusia. Atas nama Islam harus dapat menemukan dalil dalil tata dunia baru itu. Kalau dicari secara Nuzus Qur'an tidak akan ketemu. Tetapi pihaknya bertekad bahwa perdamaian atas dasar kesetaraan hak harus ditemukan aturannya dalam Islam, tegas K.H. Cholil Staquf.

Perlu juga wawasan syariat untuk menerima Piagam PBB. Dan menurut K.H. Cholil Staquf masih ada ruang yang cair dari perspektif syari’at dan perlu dibangun konstruksi pemikiran dalam Islam, sehingga tidak bisa lagi syari’at dipakai dalil untuk permusuhan. Masih harus ada banyak hal yang harus dipikirkan untuk melahirkan wacana Fiqih Peradaban dan butuh pemikiran dari lingkaran akademik. UIN Sunan Kalijaga telah mengadopsi Fiqih Peradaban, dengan menyelenggarakan forum ini. Pihaknya berharap, forum – forum seperti ini dapat dilaksanakan berkelanjutan, menjadi diskusi ilmiah yang bermanfaat bagi upaya menciptakan perdamaian dunia berpayung syari’at Islam.

Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/

Pada sambutannya, Rektor UIN Sunan Kalijaga menyampaikan apresiasi kepada Gus Yahya. "Terima kasih Gus telah bersedia menyapa kita kembali dan berdiskusi di kampus kita, kampus yang siap menjadi tempat bagi perbedaan pandangan, iman, kepercayaan, budaya, dan pemikiran. Kampus kita akan membuka semua inovasi dan bentuk gagasan baru. Gus Yahya tidak asing sebetulnya bagi kampus kita, karena aktivitasnya, karir, pengabdian, dan gagasannya.

Ini kedua kalinya sejak honoris causa Februari yang lalu. Saat ini, kita diberi kesempatan mengundang KH. Dr. Yahya Cholil Staquf di UIN Sunan Kalijaga untuk mendalami pemikirannya dan mungkin mendapat respons dari pandangan yang menguatkan. Prof. Dr. Siswanto Masruri adalah Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga periode 2020-2024, yang membidani pemikiran Indonesia; Prof. Mochtar Masoed adalah profesor dalam bidang politik internasional, dan Dr. ST. Sunardi adalah seorang filosof yang akrab dengan tradisi Katolik dan Islam melalui kajian sastra dan berbagai aktivisme Islam dan Katolik. Ini merupakan forum yang baik."

Menanggapi tentang Fiqih Peradaban, dalam sambutannya, Rektor Al Makin menekankan pentingnya pemahaman terhadap hal tersebut dan tatanan masyarakat global di era saat ini. Ia mengatakan, "Fiqh peradaban jika dibawa jauh ke belakang ini menjadi urgen dan penting. Gus Yahya mengaitkan dengan tata dunia baru setelah era globalisasi. Sangat penting kita merumuskan tempat kita di Indonesia, melalui pengabdiannya di NU dan juga teman-teman lain di Muhammadiyah, di mana tempat kita di global ini. Peran apa yang akan diambil di era ini, tata dunia baru yang sudah tidak lagi diwarnai perang tetapi penuh dengan kompromi dan negosiasi."

Rektor juga menambahkan, "Pentingnya menempatkan diri Indonesia abad teknologi dan pasar bebas ini sama pentingnya ketika Muawiyah memandang Romawi Barat dan Timur, sama pentingnya dengan khalifah al-Mansur memberi tugas Ibn Ishaq untuk memetakan letak dinasti baru Abbasiyah di antara sejarah para nabi, rasul, dan para raja. Judul Buku Tabari adalah Tarikh Rusul wa al-Muluk, sejarah para Nabi dan para raja. Nabi tidak satu. Dinasti tidak satu. Tetapi ada banyak dinasti dan peradaban yang dilahirkan sebelum Islam. Islam ditempatkan sebagai kekinian yang sudah didahului oleh peradaban-peradaban lain."

Mengawali sesi seminar, Prof. Fatimah Husein menyampaikan bahwa level fiqih peradaban ini berbeda, tidak sekedar berbicara konsep yang biasa didengar seperti toleransi, moderasi dengan dialog. Ada satu lompatan penting yang membuatnya penting untuk dikaji dalam lingkungan akademik. “Ini ranahnya di level knowledge sehingga penting untuk diusung di level akademik. Kemarin sudah di UIN Jakarta, sekarang di UIN Sunan Kalijaga, dan mungkin nanti akan ada di tempat lain.”

Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/

Sementara itu, Prof. Siswanto Masruri menyampaikan definisnya terkait peradaban. Menurut Prof. Siswanto, peradaban adalah kebersihan, dan memaparkan ada tujuh kamar-kamar (fiqih) peradaban. Dimana masing-masing kamar tersebut memiliki kata kunci dan maknanya. Antara lain: Kamar pertama (kamar mandi) yang seyogyanya bersih, wangi dan modern. “Apakah kamar mandi kita sudah bersih wangi dan modern? Saya berharap bukan hanya perguruan tinggi, namun juga lembaga pendidikan seluruhnya di negeri ini dapat memiliki kamar mandi yang ideal. Wajah peradaban dapat dilihat dan dimulai dari keterwujudan kebersihan kamar mandi. Bagaimana cara menjadikannya bersih, itulah kebudayaan.” Kemudian dijelaskan kamar kedua yakni kamar spiritual dimana menjadi ruang lahirnya shidiq, amanah, tabligh dan fathanah. Kamar selanjutnya yakni kamar makan yang halal dan thayyib, Kamar belajar.kerja yang menjadi ruang membaca fenomena dan berbagi, kamar istirahat yang bersih lahir dan batin, kamar tamu sebagai ruang latihan menghormati orang lain (saguh, gupuh, suguh), dan yang terakhir kamar sosial kebangsaan dimana menjadi ruang untuk saling bersapa, menegur, saling berbicara. “Sekarang adalah era kolaborasi. Hanya pribadi yang bersih yang dapat bekerjasama dengan tulus dan penuh semangat (kolaboratif) serta bersikap hormat dan saling memberi manfaat (resiprositif). Wasathiyah bukan sekedar moderat, melainkan keseimbangan positif antara internal dan eksternal, secara kolaboratif dan resiprositif.”

Berbeda dengan pemateri sebelumnya, Prof. Mohtar Mas'oed menggarisbawahi terhadap penggunaan kata Geopolitik Islam. Bagi Prof. Mohtar, jika pengembangan fiqih peradaban dimaksudkan untuk memperjuangkan perdamaian, maka Geopolitik bukanlah cara berpikir yang tepat. “Cara pandang geopolitik adalah semua bangsa memerlukan survival dan untuk survival maka harus mengalahkan. Sehingga, mengapa kita menggunakan kata itu kalau Anda bukan Jenderal yang sedang merencanakan strategi mengalahkan musuh. Bukan kah kita sedang mencari teman untuk berinteraksi. Bagi para pencari peradamaian, kita perlu menerapkan alternatifnya, yakni jika ingin damai, tanamkan keadilan. Si Vis pacem cole justitiam.” pungkasnya.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D, menyampaikan dalam pemaparannya bahwa Agama tidaklah menjadi sumber konflik, namun seringkali digunakan sebagai alat untuk menegaskan konflik. Untuk itu, agama seharusnya dikontekstualisasi menjadi bagian solusi atas beragam persoalan kontemporer dan global. Rektor UII juga menekankan pentingnya Islam menjadi bagian dari peradaban dunia yang inklusif dan bersanding dengan peradaban lainnya. “Islam harus siap menjadi tuan rumah di peradabannya sendiri termasuk menjadi tamu terhormat di depan peradaban lain. Sehingga kita bisa berdiri sama tinggi, bukan mendominasi.” Ia juga menyarankan agar umat Islam tidak lagi bermain sebagai korban dan mengambil tindakan proaktif dalam merancang masa depan yang lebih baik.

Lebih lanjut, ia mengajak untuk merekonstruksi peradaban Islam agar berorientasi ke depan, dan meningkatkan kontribusi terhadap peradaban dunia melalui pengembangan sains, tanpa meninggalkan nilai-nilai agama. Pidato ini memberikan gambaran tentang pentingnya menjaga harmoni antara agama dan peradaban serta mencari solusi atas berbagai konflik yang terjadi di dunia.

Narasumber yang terakhir adalah Dr. ST. Sunardi, Dosen Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Pasca Sarjana Universitas Sanata Dharma menyampaikan ada dua hal terkait fiqih peradaban. “Pertama saya menemukan sosok pemimpin yang punya passion untuk melakukan atau melahirkan sesuatu yakni ada pada Gus Yahya. Yang kedua, saya melihat bahwa kegelisahan Gus Yahya ini tidak baru.” ia melanjutkan bahwa gagasan NU tentang agama dan negara yang kemudian melahirkan gaya keberagamaan yang wasathiyah an moderasi tidak kalah dengan Piagam Madinah. 

Ada sebuah sintesa yang berani diputuskan oleh orang yang 100 persen islam dan indonesia.“Satu sisi, NU sudah punya gaya keberislaman dan bernegara yang oke. Pilihan yang diambil saat ini oleh NU adalah jalan budaya, jalan intelektual bukan jalan parpol atau keamanan. Ini adalah jalan yang sulit, namun disinilah letak kebaruannya. Ini akan menelusuri jalan sepi. Sepertinya fiqih tidak cukup hanya dalam arti hukum, namun juga dalam arti intelektualitas, mungkin ushul fiqih pendekatan atau cara berfikir. Menurut saya fiqih peradaban yang saat ini isu lama mendapatkan makna baru.” Ada tantangan-tantangan yang akan dihadapi kedepannya, dan alternatif yang ditawarkan Dr. ST. Sunardi antara lain mengkaji Islam Nusantara tidak hanya mengkaji kultural namun juga filosofinya, ada keputusan intelektual yang perlu dipelajari di ekstrak dan menjadi geofilosofi. Ia juga menyebutkan tentang adanya kesempatan kebangkitan reformasi moral dan intelektualitas, serta bagaimana adanya perubahan dalam kebudayaan yang perlu dikaji kembali.

Seusai penyampaian materi dari masing-masing narasumber dan sesi tanya jawab, kegiatan dilanjutkan dengan buka puasa bersama dan ramah tamah. Bagi masyarakat yang ingin menyaksikan kembali Seminar Nasional: Menafsirkan Kembali Gagasan Fiqih Peradaban dalam Perspektif Geopolitik Islam, dapat mengunjungi Kanal YouTube UIN Sunan Kalijaga.

Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/

Posting Komentar untuk "UIN Sunan Kalijaga Menjadi Tuan Rumah Penyelenggaraan Seminar Nasional Fiqih Peradaban"