Memahami Kesemrawutan
Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D.
Rektor Universitas Islam Indonesia
Tidak ada garis finis dalam kamus pembelajar sejati. Selama kita menjadi pembelajar sejati, dengan izin Allah, kita harus menjemput masa depan dengan suka cita dan penuh keyakinan. Saudara adalah para pemimpin masa depan.
Melihat ketidaksempurnaan
Dalam memimpin, termasuk dalam konteks memimpin diri sendiri, kadang tidak semua keadaan seperti yang kita bayangkan. Sangat mungkin, kita akan temui, misalnya, keterbatasan informasi untuk pengambilan keputusan dan keterbatasan sumber daya untuk bergerak. Saya yakin Saudara sepakat dengan saya: sangat sedikit yang sempurna dalam kehidupan ini.
Namun, hal itu tentu tidak lantas menyurutkan optimisme kita dan menjadikan kita menjadi pribadi yang keahlian utamanya ada memrotes keadaan dan akhirnya lupa mengambil inistiatif. Jika Saudara saat ini cenderung perfeksionis, yang selalu mengharap kesempurnaan, itu juga sebuah pilihan, meski bukan tanda tantangan dan risiko.
Saya personal, dulunya bagian dari kelompok ini, dan selalu membayangkan yang sempurna. Dalam keseharian, saya sering membayangkan jalan tanpa kabel listrik melintang tak beraturan di sepanjang jalan, jalanan tanpa kemacetan, layanan fisik tanpa antrian, rumah yang selalu rapi, tampilan yang selalu necis, mahasiswa yang selalu taat panduan, dosen yang tertib mengikuti arahan, sejenisnya. Tidak semuanya itu bisa terjadi secara konsisten.
Namun, setelah membaca buku Abrahamson dan Freedman yang berjudul A Perfect Mess (Kesemrawutan yang Sempurna), berangsur saya mengadopsi perspekif baru, mulai belasan tahun lalu. Buku ini memamarkan manfaat tersembunyi dari ketidakteraturan, dalam beragam konteks, personal, rumah, sampai organisasi, dan bahkan masyarakat.
Sindrom “seharusnya begini”
Sifat perfeksionis jika berlebihan dan tanpa pernah mencoba memahami mengapa kesemrawutan dapat terjadi, akan membuat kita tersiksa, karena yang nyata selalu saja tidak sempurna di mata kita. Dalam bahasa sederhana saya, kita terjebak ke dalam “sindrom seharusnya begini”.
Paling tidak perspektif ini akan menjadi pelengkap perspektif tentang kerapian dan keteraturan yang selama ini dianggap menjadi satu-satunya pilihan.
Sebelum melanjutkan, bayangkan beberapa fragmen berikut. Sebagai orang tua, di rumah tak jarang tidak nyaman ketika melihat mainan anak kecil yang berantakan. Kita pun akhirnya meluangkan waktu merapikannya. Tapi, sisi yang jarang disadari, kita merasa tidak punya waktu bermain bersama anak kita. Atau, seorang gadis yang ingin tampil kasual, tetapi memerlukan waktu berjam-jam untuk berdandan. Ini adalah contoh paradoks.
Perspektif untuk berhenti mengharapkan kesempurnaan juga sering saya sampaikan ke mahasiswa pengambil kelas saya. Saya mengajak untuk tidak terjebak dalam sindrom tersebut, tetapi menggantinya dengan sebuah pertanyaan yang menghadirkan kesadaran baru: Dalam kondisi seperti ini, ketika beragam kekangan menghadang dan sumber daya terbatas, apa hal terbaik yang bisa kita lakukan?
Kerapian bukan tanpa biaya. Bisa dibayangkan misalnya, berapa biaya yang dibutuhkan, jika semua kabel listrik di Indonesia dibuatkan gorong-gorong di bawah tanah sepanjang jalur distribusinya? Ini belum termasuk risiko lain, seperti banjir dan akses perawatan.
Ketidakteraturan sampai level tertentu seharusnya bisa ditoleransi selama tidak melanggar nilai-nilai mulia, seperti ketidakadilan, kejujuran, kesetaraan. Di sana ada penghargaan terhadap liyan.
Manfaat ketidakteraturan
Apa manfaat dari ketidakteraturan? Banyak. Di antaranya adalah fleksibilitas (flexibility). Ketidakteraturan memungkinkan perubahan dan adaptasi yang lebih cepat dengan biaya yang tidak banyak. Selain itu, ketidakterarturan juga membuka ruang kreativitas yang memunculkan invensi (invention) atau temuan baru.
Penemuan solusi yang tepat guna dalam konteks sumber daya yang terbatas dapat terjadi juga karena ketidaksempurnaan ditoleransi. Inilah yang disebut dengan workaround, solusi “mlipir” yang dibutuhkan memberikan dampak cepat, meski sering kali tidak sempurna (Savaget, 2023). Dalam konteks pengambilan keputusan juga ada konsep rasionaltas terikat (bounded rationality), karena informasi yang tidak lengkap.
Atau, pernah melihat toko klontong serba ada di ruang yang sempit? Ketidakteraturan juga memungkinkan kelengkapan (completeness), karena bisa mengakomodasi kehadiran banyak entitas yang berbeda.
Jika keteraturan memerlukan sumber daya untuk menghadirkannya, maka ketidakteraturan, sebaliknya, bisa memberikan efisiensi (efficiency). Selain itu, ketidakteraturan bisa menjadikan sebuah sistem mempunyai kekokohan (robustness) dalam menghadapi kerusakan, kegagalan, dan imitasi.
Terbuka dengan perspektif baru
Saya tidak akan melanjutkan diskusi ini sampai detail. Pesan yang ingin saya sampaikan kepada Saudara adalah bahwa kita harus membuka diri dengan perspektif baru. Apa yang pada awalnya seakan tidak masuk akal, bisa jadi memberikan manfaat tersembunyi yang tidak disadari.
Selain itu, saya mengajak Saudara untuk menoleransi ketidaksempurnaan. Peradaban manusia disusun dari berjuta ketidaksempurnaan yang ditoleransi untuk saling berinteraksi.
Contohnya: buku yang sempurna tidak pernah meninggalkan meja penulisnya. Selalu saja ada kekurangan dari setiap buku. Bahkan, mahasiswa yang lulus dengan IPK 4,00 pun tidak berarti memahami semua materi yang didiskusikan dalam perkuliahan tanpa cela.
Saya yakin, jika perspektif ini diadopsi, hidup kita akan lebih berbahagia karena bisa menerima perspektif yang beragam dari manusia lain.
Sumber: https://www.uii.ac.id/memahami-kesemrawutan/
Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/
Posting Komentar untuk "Memahami Kesemrawutan"